selamatkan bumi kita dengan hatimu

selamatkan bumi kita dengan hatimu
hidup hanya sekali, so... harus berarti

Kamis, 08 April 2010

Mencari Format Pendidikan Autis (Catatan pada Peringatan Hari Peduli Autis Sedunia 2 April 2010)

Autisme. Nama itu kini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Semakin hari kata-kata autis sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Meskipun sebagian besar hanya tahu nama saja, tapi hanya jarang yang paham bagaimana autis itu sebenarnya. Tentu mereka yang paham tersebut, tak lepas dari hubungan orang tua dari penyandang autis, siblings (saudara sekandung) keluarga, kerabat dan teman dekat saja serta orang-orang yang berhubungan langsung dengan para penyandang autis.



Bahkan saat ini ada hal yang paling mengkhawatirkan bagi para orang tua dari penyandang autis, dimana ada beberapa oknum dari kalangan selebriti atau orang yang cukup terkenal yang mengolok-olokkan nama autis dan itu dimuat di media. Orang yang suka menyendiri, mereka sebut autis, orang yang nggak suka bergaul mereka sebut juga autis. ‘’Dasar autis’’ kata mereka sambil tertawa mengolokkan temannya. Seakan-akan autis hanya sebuah julukan atau sebutan untuk mengolokkkan-olokkan orang lain. Padahal jika mereka paham apa arti autis sebenarnya, pasti akan ada kecemasan yang mendalam yang dapat kita rasakan.

Mungkin kita harus merenung dengan apa yang dikatakan dr Melly Budiman dalam tulisannya, di kolom Kompas pada tgl 19 Maret 2008 lalu bahwa ‘’memang anak autis tidak mati, tetapi juga tidak hidup’’. Sebuah pernyataan yang dapat membuat merinding bulu kuduk kita. Ini sebuah kenyataan, terutama bagi para orang tua dari penyandang autis yang bisa merasakannya. Hal yang hampir senada juga dipikirkan orang tua tentang nasib dan hidup anak autis yang seperti berada di awang-awang, ‘’tidak naik ke atas langit dan tidak juga turun ke bumi’’. Bagaimana tidak, seorang cacat fisik seperti tuna rungu, tuna netra dan tuna grahita, kehilangan salah satu anggota badannya masih bisa mempertahankan diri mereka dan bisa mandiri bahkan malah ada yang bisa memenuhi hidup orang lain atau orang normal. Namun bagi anak autis, sepanjang hidupnya perlu terapi dan ada pihak-pihak yang mengontrol kegiatan ataupun kemandiriannya dan itu hanya dapat dilakukan bagi orang-orang yang memahami perilakunya. Jika tidak, tentu mereka akan dianggap aneh, gila, sakit jiwa dan sebagainya. Seperti banyak yang kita temui dari informasi di media, ada anak yang dikurung oleh orang tuanya di dalam kandang kambing,atau juga dipasung beberapa tahun karena takut mengamuk dan menyakiti orang lain. Padahal orang-orang disekitarnya itu tidaklah paham terhadap kondisi anak autis tersebut sehingga mereka diperlakukan dengan keliru. Tentunya pikiran-pikiran ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena banyak juga anak-anak autis yang bisa dibanggakan dengan bakat dan kemampuan luar biasa yang mereka miliki, namun mereka juga tetap harus dipantau.

Permasalahan yang dimiliki oleh penyandang autis sangatlah kompleks dan rumit. Tak heran, organisasi dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengangkat tema ini pada tahun 2007 lalu yang diusulkan oleh pemerintah Qatar . World Autism Awareness Day atau Hari Peduli Autis Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April yang dimulai sejak tahun 2008 lalu. Peringatan ini ditetapkan dan diperkuat dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) nomor 62/139 yang dikeluarkan pada tanggal 18 Desember 2007. Kenapa sebegitu memperihatinkan persoalan autis ini dan kenapa sebegitu kompleksnya ‘’dia’’? Autis memang bukan suatu penyakit dan tentu tidak akan menular, tapi autis adalah spektrum, ini menggambarkan autisme yang paling ''parah'' (severe). Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, mereka menolak berkomunikasi dan berinteraksi, seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Ini yang sering dianggap orang aneh. Intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Dengan banyaknya perbedaan di antara masing-masing individu, gangguan perkembangan ini lebih sering disebut sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA). Bahkan ada varian autis yang disebut sindrom asperger, Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Secara detail, berikut ini merupakan prilaku autis yang sering dijumpai pada anak. Yaitu, sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali kontak mata, tidak peka terhadap rasa sakit, lebih suka menyendiri; sifatnya agak menjauhkan diri, suka benda-benda yang berputar / memutarkan benda, ketertarikan pada satu benda secara berlebihan, hiperaktif/melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam), kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan daripada kata-kata, menuntut hal yang sama; menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin, tidak peduli bahaya, menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama, echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa), tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi, tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli, tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa, tentrums – suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas, kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok).

Dengan kompleksitas permasalahan yang diderita oleh penyandang autis ini, hal yang paling mendasar saat ini yang dirasakan oleh orang tua adalah mengenai pendidikan yang tepat untuk anak mereka. Sekolah, sekolah dan sekolah! Tentunya peran pemerintah juga sangat penting mencari format pendidikan yang tepat untuk anak autis. Dengan perkembangan penyandang autis yang kian meningkat setiap tahunnya, juga harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Meskipun Indonesia belum memiliki data khusus tentang perkembangan jumlah penyandang autis, namun bisa dilihat dari jumlah tempat terapi dan sekolah autis yang jumlah siswanya semakin bertambah. Fenomena ini, seharusnya menjadi pusat perhatian penting bagi kita semua, terutama bagi pemerintah. Karena masalah ini memang sudah menjadi tanggungjawab pemerintah tentang masa depan generasi muda, anak-anak yang akan menjadi aset bangsa, yang pastinya menjadi peran utama dalam membangun bangsa ini sekarang dan juga masa yang akan datang. Apalagi, kita (Indonesia, red) sudah mempunyai Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dimana, dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap anak berhak bersekolah dan harus bisa diterima di sekolah. Setiap anak, dengan tidak ada pengecualiannya. Dengan demikian pemerintah juga harus berupaya untuk mensosialisasikan tentang keberadaan anak autis di setiap sekolah. Karena persoalan yang jarang terjawab saat ini untuk anak autis adalah dimana ia akan bersekolah nantinya. Untuk ditampung di Sekolah Luar Biasa (SLB) tentunya pemerintah perlu memikirkan peningkatan jumlah pengajar dan juga memikirkan penambahan SLB lagi. Dengan melihat spektrum autis yang kompleks, format pendidikan yang tepat untuk anak autis juga harus berbeda, sesuai dengan kebutuhannya. Seorang anak autis idealnya diajar satu orang guru, seperti di pusat terapi. Kenapa tidak ikut terapi saja? Bisa dibandingkan jumlah jam terapi dengan jam sekolah dikaitkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Punya anak autis, secara otomatis kita harus berhadapan dengan ‘’ongkos’’ yang mahal. Mereka anak-anak spesial. Saat ini saja untuk kota Pekanbaru dan Riau satu jam terapi membutuhkan biaya sebesar Rp25-40 ribu. Coba bayangkan jika jumlah jam sekolah 4-7 jam sehari dikalikan dengan 6 hari sekolah. Jika di tempat terapi tentu biaya yang dikeluarkan oleh orang tua lebih besar dari biaya kuliah seorang anak di perguruan tinggi. Karena itu idealnya ada sekolah khusus yang dapat menampung anak autis ini. Saat ini sekolah khusus (autis) di Riau, baru diprakarsai pihak-pihak swasta, itupun kalau tidka salah baru satu jumlahnya . Tentu sekolah ini tidak disubsidi oleh pemerintah. Alangkah baiknya jika pemerintah yang menangani sekolah-sekolah ini. Mungkin perlahan-lahan bisa membangunnya, namun untuk sekarang juga bisa dipikirkan sekolah inklusi yang bisa menampung anak-anak autis. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bukittingi sudah ada sekolah khusus untuk anak autis dan memiliki kurikulum khusus bagi anak-anak autis ini. Sekolah ini diberikan oleh Pemerintah setempat. Sementara Wali Kota Kota Bogor Achmad Ruyat pada bulan Maret 2010 ini juga telah membuka pelatihan bagi 30 orang guru sekolah dasar mendapat pelatihan teknik mengajar dan membimbing anak penderita autis. Pemko Bogor telah menyediakan pendidikan inklusi untuk anak-anak autis, Attention Defective Disorder (ADD). dan Attention Defective Hyperactive Disorder (ADHD) , di SDN Semeru 3, SD Perwira , dan SD Batutulis 2. Agaknya pemerintah Riau, khususnya Pekanbaru mesti lebih tanggap menghadapi persoalan ini. Dinas Sosial atau instansi terkait seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKB) bisa mendata jumlah anak-anak autis di Pekanbaru dan Riau dan selanjutnya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat untuk memikirkan pendidikan yang tepat bagi mereka. Mungkin Pemerintah Pekanbaru contohnya pernah menyebutkan untuk guru di Pekanbaru sudah cukup, tapi bagaimana untuk guru bagi anak-anak penyandang cacat, penyandang autis dan bagi anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Mereka juga tidak bisa disepelekan.

Pemerintah juga turut memperhatikan penyebab lain dari bertambahnya jumlah para penyandang autis ini, karena penyebab autis sering dikaitkan dengan masalah vaksin berthimerosal, polusi udara, makanan yang terkontaminasi karena banyaknya perusahaan yang membuang limbah mereka sembarangan. Penyandang autis banyak ditemukan dalam tubuhnya logam tertentu yang kadarnya berat. Logam ini juga menjadi pemicu prilaku autistic. Banyak penyandang autis yang harus diet makanan tertentu. Harus kita akui masalah pencemaran sering menjadi pemicu datangnya malapetaka di dunia, dan itu semua tentunya tidak lepas dari ulah ‘’tangan-tangan jahat’’ manusia. Pembangunan yang dilakukan sering tidak mengindahkan lingkungan. Semoga ini menjadi PR bagi kita semua, untuk secara bersama-sama peduli autisme.

Tidak ada komentar: