selamatkan bumi kita dengan hatimu

selamatkan bumi kita dengan hatimu
hidup hanya sekali, so... harus berarti

Senin, 28 April 2008

Artikel April ke-1 : Autisme Menggugah Dunia

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal 2 April sebagai Hari Autisme sedunia (World Autism Awareness Day). Dengan adanya penetapan ini membuktikan bahwa dunia sudah mengakui bahwa autisme saat ini telah menjadi suatu keprihatinan bagi masyarakat dunia, dimana ada terdapat 35 juta jiwa yang menjadi penyandang autisme di seluruh dunia. Karena itu sudah waktunya bagi negara-negara di dunia untuk bersama-sama meningkatkan kedulian terhadap masalah autisme.




Dalam situs puterakembara.org menyebutkan asal muasal penetapan hari autis se dunia ini dimulai dengan kehadiran Wakil delegasi PBB dari Qatar, Nassir Abdelaziz AL-Nassir yang dikenal di negaranya sebagai aktivis pembela hak azasi individu penyandang cacat telah berhasil mengangkat masalah autisme sebagai salah satu agenda tahunan PBB. Beliau telah berhasil mendapatkan dukungan suara bulat dari 50 negara anggota PBB dengan menetapkan tanggal 2 April sebagai Hari Peduli Autisme se Dunia. Agenda yang dibahs adalah penanggulangan autisme di bidang diagnosa, riset, intervensi perilaku pada usia dini dan pengobatan.

Berbagai event penting telah dijadwalkan di kantor pusat PBB sehubungan dengan hari Autisme se Dunia ini anatar lain dengan menggelar pameran lukisan, diskusi panel bersama para ahli neurology dan wakil dari World Health Organization (WHO) untuk menanggulangi masalah autisme. Tema yang diangkat adalah ''Tantangan, tanggungjawab dan Tindaklanjut untuk meningkatkan kepedulian akan masalah autisme''.

Berbagai negara di dunia masih tidak mengakui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan jiwa (neurological disorder) sehingga berdampak luas pada kurangnya usaha terpadu untuk menanggulangi masalah autisme.

PBB telah memasukkan masalah autisme ke dalam kategori krisis dan akan mendapatkan prioritas utama untuk penanggulangannya. Seluruh anggota PBB sepakat untuk menindaklanjuti masalah autisme. Kenyataannya bahwa usaha untuk menindaklanjuti pencehagan, pengobatan dan penyembuhan autisme dinilai sudah tidak efektif karena autisme adalah ganguan perkembangan neurology yang paling cepat pertambahan jumlah penyandangnya di seluruh dunia.

Dengan adanya kesepakatan ini diharapkan memberikan kekuatan yang positif bagi para orang tua yang memiliki anak penyandang autis. Dunia seharusnya juga berusaha menghilangkan kesan di masyarakat, bahwa mempunai anak autis adalah suatu hal yang memalukan. Dengan demikian si anak merasa sudah mendapat pengakuan dari dunia. Selama ini meskipun mereka memiliki dunia sendiri, namun jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka ingin mengenal dunia yang sebenarnya. Dunia di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Di dunia inipulah, para penyandang autis ingin mendapat pengakuan karena mereka juga manusia yang memiliki hak azasi yang sama dengan manusia lainnya. Jikapun mereka bisa mengatakan, mereka juga tidak ingin terlahir autis.

Kasus autisme, memang belum lama muncul dan didengungkan ke permukaan. Karena autisme baru pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner, psikiater di John Hopkins University di Amerika pada tahun 1943. Terutama di Indonesia khususnya di Riau, kasus ini hanya baru populer dalam satu dekade terakhir ini. Tapi dengan disepakatinya hari autis se dunia ini diharapkan masalah autisme menjadi tersosialisasikan di masyarakat. Tanpa kita sadari di lingkungan kita bahkan di dekat kita ada penyandang autis.

Gejala autis yang harus diketahui sangat banyak, namun ada tiga kriteria yang menjadi diagnosa WHO yang mensyaratkan 3 gangguan fungsi pada penderita autis yaitu pertama, gangguan perkembangan komunikasi baik verbal (bahasa) maupun non verbal (menunjuk, kontak mata). Kedua, gangguan interaksi sosial yang nyata berbagi emosi dan empati serta ketiga adanya perilaku repetitive, kaku dan berualng-ulang (stereotipik) seperti mengulang kata-kata yang sama, bermain dengan mainan yang sama dalam waktu lama atau cara yang aneh.

Dengan masalah autisme yang sudah menjadi masalah dunia, diharapkan juga menjadi masalah yang harus ditangani oleh negara, pemerintah setempat. Inilah yang menjadi tujuan kita di tanah air pemerintah juga turut serta menanganinya. Bahkan hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah sepakat mengenai pemahaman soal autisme ini. Kenapa demikian karena selama ini yang masih menjadi kendala adalah tentang kesepahaman berbagai pihak mengenai autisme.

Inilah yang harus menjadi bahasan bagi kita semua, untuk sama-sama memberikan pemahaman yang sama tentang autisme, tentu terlebih dahulu yang harus paham adalah pemerintah sendiri. Bagaimana dengan pemerintah provinsi Riau dan pemerintah kabupaten/kota di Riau, sendiri? Sudahkan mereka paham akan autisme ini? Karena dalam berbagai seminar dan simposium tentang autis yang sering saya hadiri di Pekanbaru, sangat jarang menghadirkan pemerintah setempat terutama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan yang menjadi sentral dari masalah autisme ini. Mungkin yang pernah ada hanya pembukaan seminar autis yang dihadir oleh isteri Gubernur Riau Hj Septina Primawati Rusli.

Untuk masa depan penyandang autis, tentunya lebih tepat diarahkan pada Dinas Pendidikan, karena keluhan utama yang disampaikan para orang tua yang memiliki anak autis adalah mengenai sekolahnya setelah masuk Taman Kanak-kanak (TK). Yah, anak autis yang berusia dini 0-6 tahun tentunya bisa dimaklumi dengan jenjang pendidikan di play grup hingga TK. Tapi bagaimana ketika mereka masuk ke bangku Sekolah Dasar (SD), SMP dan SMA sederajat? banyak orang tua yang gamang karena tidak semua sekolah umum mau menerima kehadiran penyandang autis di lingkungan sekolah. Selain berbeda dari anak-anak lainnya, mungkin mereka merasa letih atau lelah memberikan perhatian ekstra terhadap anak autis ini. Walaupun anak-anak ini bisa mengikuti sebagian besar atau seluruh pelajaran di sekolah. ''Kami merasa anak-anak kami hidup di awang-awang'', begitu pekik para orang tua. Namun jika disekolahkan di sekolah khusus, tidak semua daerah memiliki sekolah khusus bagi anak-anak autis ini.

Contohnya di Pekanbaru sendiri yang menjadi ibukota provinsi Riau. Tanpa disadari, berdasarkan seminar dan simposium tentang autisme, banyak sumber menyebutkan data penderita autis di Pekanbaru mencapai 200-300 anak. Data tersebut hanya diperoleh dari pusat terapi autis yang ada di Pekanbaru saja, tapi tidak untuk anak-anak yang tidak menjalani terapi dan terapi hanya bisa dilakukan bagi para orang tua yang mampu memberikan terapi untuk anaknya. Karena tidak dapat dipungkiri biaya terapi untuk anak autis itu cukup mahal. Rata-rata orang tua mengeluarkan kocek sebesar Rp1 juta perbulan, di luar kebutuhan si anak lainnya. Belum lagi jika si anak ikut play grup atau TK.

Hingga saat ini Pekanbaru tidak memiliki sekolah khusus untuk anak autis, yang ada hanya sekolah khusus di pusat-pusat terapi. Namun di provinsi tetangga, Sumatera Barat, dari seminar autis yang digelar di Pekanbaru belum lama ini, di Kota Bukittingi sudah ada sekolah khusus untuk anak autis dan memiliki kurikulum khusus bagi anak-anak autis ini. Sekolah ini diberikan oleh Pemerintah setempat. Agaknya Wali Kota Bukittinggi cukup maju selangkah dalam masalah autis ini. Ini juga dikarenakan kepedulian pemerintah setempat terhadap masa depan anak-anak autis yang sebagian memiliki bakat dan keahlian istimewa dari anak-anak lainnya. Mungkin kebijakan ini harus dicontoh oleh Pemko Pekanbaru atau Pemprov Riau memberikan sekolah khusus bagi anak-anak ini. Dan tentunya juga memikirkan soal biaya yang sanggup dibebankan pada orang tua anak autis.

Saatnya autisme menggugah dunia. Autisme menggugah pemerintah, autisme menggugah masyarakat untuk bisa menerima keadaan mereka. Dunia juga harus sepaham dengan istilah autis ini. Karena itu perlu ada suatu pertemuan khusus, yang dihadiri seluruh komponen terkait karena kasus autis merupakan kasus yang sangat komplek. Mungkin perlu dihadiri para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bidan, psikiater, psikolog, dokter ahli syaraf, ahli neurologi, guru terapis, para orang tua bahkan pemerintah terutama dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Agar masalah autis ini dapat kita tangani secara bersama-sama dan memberikan kemandirian bagi penderita autis dengan membangun masa depan yang cerah kepada mereka. ***

Tidak ada komentar: