selamatkan bumi kita dengan hatimu

selamatkan bumi kita dengan hatimu
hidup hanya sekali, so... harus berarti

Kamis, 08 April 2010

Mencari Format Pendidikan Autis (Catatan pada Peringatan Hari Peduli Autis Sedunia 2 April 2010)

Autisme. Nama itu kini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Semakin hari kata-kata autis sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Meskipun sebagian besar hanya tahu nama saja, tapi hanya jarang yang paham bagaimana autis itu sebenarnya. Tentu mereka yang paham tersebut, tak lepas dari hubungan orang tua dari penyandang autis, siblings (saudara sekandung) keluarga, kerabat dan teman dekat saja serta orang-orang yang berhubungan langsung dengan para penyandang autis.



Bahkan saat ini ada hal yang paling mengkhawatirkan bagi para orang tua dari penyandang autis, dimana ada beberapa oknum dari kalangan selebriti atau orang yang cukup terkenal yang mengolok-olokkan nama autis dan itu dimuat di media. Orang yang suka menyendiri, mereka sebut autis, orang yang nggak suka bergaul mereka sebut juga autis. ‘’Dasar autis’’ kata mereka sambil tertawa mengolokkan temannya. Seakan-akan autis hanya sebuah julukan atau sebutan untuk mengolokkkan-olokkan orang lain. Padahal jika mereka paham apa arti autis sebenarnya, pasti akan ada kecemasan yang mendalam yang dapat kita rasakan.

Mungkin kita harus merenung dengan apa yang dikatakan dr Melly Budiman dalam tulisannya, di kolom Kompas pada tgl 19 Maret 2008 lalu bahwa ‘’memang anak autis tidak mati, tetapi juga tidak hidup’’. Sebuah pernyataan yang dapat membuat merinding bulu kuduk kita. Ini sebuah kenyataan, terutama bagi para orang tua dari penyandang autis yang bisa merasakannya. Hal yang hampir senada juga dipikirkan orang tua tentang nasib dan hidup anak autis yang seperti berada di awang-awang, ‘’tidak naik ke atas langit dan tidak juga turun ke bumi’’. Bagaimana tidak, seorang cacat fisik seperti tuna rungu, tuna netra dan tuna grahita, kehilangan salah satu anggota badannya masih bisa mempertahankan diri mereka dan bisa mandiri bahkan malah ada yang bisa memenuhi hidup orang lain atau orang normal. Namun bagi anak autis, sepanjang hidupnya perlu terapi dan ada pihak-pihak yang mengontrol kegiatan ataupun kemandiriannya dan itu hanya dapat dilakukan bagi orang-orang yang memahami perilakunya. Jika tidak, tentu mereka akan dianggap aneh, gila, sakit jiwa dan sebagainya. Seperti banyak yang kita temui dari informasi di media, ada anak yang dikurung oleh orang tuanya di dalam kandang kambing,atau juga dipasung beberapa tahun karena takut mengamuk dan menyakiti orang lain. Padahal orang-orang disekitarnya itu tidaklah paham terhadap kondisi anak autis tersebut sehingga mereka diperlakukan dengan keliru. Tentunya pikiran-pikiran ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena banyak juga anak-anak autis yang bisa dibanggakan dengan bakat dan kemampuan luar biasa yang mereka miliki, namun mereka juga tetap harus dipantau.

Permasalahan yang dimiliki oleh penyandang autis sangatlah kompleks dan rumit. Tak heran, organisasi dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengangkat tema ini pada tahun 2007 lalu yang diusulkan oleh pemerintah Qatar . World Autism Awareness Day atau Hari Peduli Autis Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April yang dimulai sejak tahun 2008 lalu. Peringatan ini ditetapkan dan diperkuat dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) nomor 62/139 yang dikeluarkan pada tanggal 18 Desember 2007. Kenapa sebegitu memperihatinkan persoalan autis ini dan kenapa sebegitu kompleksnya ‘’dia’’? Autis memang bukan suatu penyakit dan tentu tidak akan menular, tapi autis adalah spektrum, ini menggambarkan autisme yang paling ''parah'' (severe). Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, mereka menolak berkomunikasi dan berinteraksi, seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Ini yang sering dianggap orang aneh. Intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Dengan banyaknya perbedaan di antara masing-masing individu, gangguan perkembangan ini lebih sering disebut sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA). Bahkan ada varian autis yang disebut sindrom asperger, Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Secara detail, berikut ini merupakan prilaku autis yang sering dijumpai pada anak. Yaitu, sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali kontak mata, tidak peka terhadap rasa sakit, lebih suka menyendiri; sifatnya agak menjauhkan diri, suka benda-benda yang berputar / memutarkan benda, ketertarikan pada satu benda secara berlebihan, hiperaktif/melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam), kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan daripada kata-kata, menuntut hal yang sama; menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin, tidak peduli bahaya, menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama, echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa), tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi, tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli, tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa, tentrums – suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas, kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok).

Dengan kompleksitas permasalahan yang diderita oleh penyandang autis ini, hal yang paling mendasar saat ini yang dirasakan oleh orang tua adalah mengenai pendidikan yang tepat untuk anak mereka. Sekolah, sekolah dan sekolah! Tentunya peran pemerintah juga sangat penting mencari format pendidikan yang tepat untuk anak autis. Dengan perkembangan penyandang autis yang kian meningkat setiap tahunnya, juga harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Meskipun Indonesia belum memiliki data khusus tentang perkembangan jumlah penyandang autis, namun bisa dilihat dari jumlah tempat terapi dan sekolah autis yang jumlah siswanya semakin bertambah. Fenomena ini, seharusnya menjadi pusat perhatian penting bagi kita semua, terutama bagi pemerintah. Karena masalah ini memang sudah menjadi tanggungjawab pemerintah tentang masa depan generasi muda, anak-anak yang akan menjadi aset bangsa, yang pastinya menjadi peran utama dalam membangun bangsa ini sekarang dan juga masa yang akan datang. Apalagi, kita (Indonesia, red) sudah mempunyai Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dimana, dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap anak berhak bersekolah dan harus bisa diterima di sekolah. Setiap anak, dengan tidak ada pengecualiannya. Dengan demikian pemerintah juga harus berupaya untuk mensosialisasikan tentang keberadaan anak autis di setiap sekolah. Karena persoalan yang jarang terjawab saat ini untuk anak autis adalah dimana ia akan bersekolah nantinya. Untuk ditampung di Sekolah Luar Biasa (SLB) tentunya pemerintah perlu memikirkan peningkatan jumlah pengajar dan juga memikirkan penambahan SLB lagi. Dengan melihat spektrum autis yang kompleks, format pendidikan yang tepat untuk anak autis juga harus berbeda, sesuai dengan kebutuhannya. Seorang anak autis idealnya diajar satu orang guru, seperti di pusat terapi. Kenapa tidak ikut terapi saja? Bisa dibandingkan jumlah jam terapi dengan jam sekolah dikaitkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Punya anak autis, secara otomatis kita harus berhadapan dengan ‘’ongkos’’ yang mahal. Mereka anak-anak spesial. Saat ini saja untuk kota Pekanbaru dan Riau satu jam terapi membutuhkan biaya sebesar Rp25-40 ribu. Coba bayangkan jika jumlah jam sekolah 4-7 jam sehari dikalikan dengan 6 hari sekolah. Jika di tempat terapi tentu biaya yang dikeluarkan oleh orang tua lebih besar dari biaya kuliah seorang anak di perguruan tinggi. Karena itu idealnya ada sekolah khusus yang dapat menampung anak autis ini. Saat ini sekolah khusus (autis) di Riau, baru diprakarsai pihak-pihak swasta, itupun kalau tidka salah baru satu jumlahnya . Tentu sekolah ini tidak disubsidi oleh pemerintah. Alangkah baiknya jika pemerintah yang menangani sekolah-sekolah ini. Mungkin perlahan-lahan bisa membangunnya, namun untuk sekarang juga bisa dipikirkan sekolah inklusi yang bisa menampung anak-anak autis. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bukittingi sudah ada sekolah khusus untuk anak autis dan memiliki kurikulum khusus bagi anak-anak autis ini. Sekolah ini diberikan oleh Pemerintah setempat. Sementara Wali Kota Kota Bogor Achmad Ruyat pada bulan Maret 2010 ini juga telah membuka pelatihan bagi 30 orang guru sekolah dasar mendapat pelatihan teknik mengajar dan membimbing anak penderita autis. Pemko Bogor telah menyediakan pendidikan inklusi untuk anak-anak autis, Attention Defective Disorder (ADD). dan Attention Defective Hyperactive Disorder (ADHD) , di SDN Semeru 3, SD Perwira , dan SD Batutulis 2. Agaknya pemerintah Riau, khususnya Pekanbaru mesti lebih tanggap menghadapi persoalan ini. Dinas Sosial atau instansi terkait seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKB) bisa mendata jumlah anak-anak autis di Pekanbaru dan Riau dan selanjutnya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat untuk memikirkan pendidikan yang tepat bagi mereka. Mungkin Pemerintah Pekanbaru contohnya pernah menyebutkan untuk guru di Pekanbaru sudah cukup, tapi bagaimana untuk guru bagi anak-anak penyandang cacat, penyandang autis dan bagi anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Mereka juga tidak bisa disepelekan.

Pemerintah juga turut memperhatikan penyebab lain dari bertambahnya jumlah para penyandang autis ini, karena penyebab autis sering dikaitkan dengan masalah vaksin berthimerosal, polusi udara, makanan yang terkontaminasi karena banyaknya perusahaan yang membuang limbah mereka sembarangan. Penyandang autis banyak ditemukan dalam tubuhnya logam tertentu yang kadarnya berat. Logam ini juga menjadi pemicu prilaku autistic. Banyak penyandang autis yang harus diet makanan tertentu. Harus kita akui masalah pencemaran sering menjadi pemicu datangnya malapetaka di dunia, dan itu semua tentunya tidak lepas dari ulah ‘’tangan-tangan jahat’’ manusia. Pembangunan yang dilakukan sering tidak mengindahkan lingkungan. Semoga ini menjadi PR bagi kita semua, untuk secara bersama-sama peduli autisme.

Selengkapnya.....

Sabtu, 08 Agustus 2009

Cinta=Tanpa Pamrih????

Cinta. Kalau ditanya pada setiap orang apa itu cinta, pasti definisi yg mrk ungkapkan berbeda2. Namun, ada definisi cinta yg kuanggap sangat tepat disandingkan dgn kata cinta itu sendiri yaitu tanpa pamrih.



Kenyataannya banyak orang yg nggak menyadari kalau cinta dan tanpa pamrih itu benar-benar klop. Hatiku tersentuh kala melihat acara ''Masihkah Kau Mencintaku'' Rabu lalu di RCTI. Seorang suami nggak mau menerima pemrintaan istrinya untuk menikah lg dgn wanita lain krn si istri merasa nggak sanggup menerima kondisinya yg udah nggak bs melayani sang suami krn penyakit kanker rahim yg menimpa dirinya sejak 3 tahun lalu. Bahkan si istri rela mencarikan dan merestui wanita lain yg akan menggantikan posisi dirinya. Alasan si suami nggak mau, dia sangat mencintai dan tetapi mencintai sang istri selamanya dgn apapun kondisinya. Meskipun kedua belah pihak sama2 merasa tersiksa. Dan dia mengaku, cintanya tanpa pamrih pada sang istri.

Sungguh, bikin hati terenyuh, hampir jarang ditemui adanya cinta sprt itu jk melihat zaman skrg. Ini jg yg membuatku cukup merenung, ttg arti dan makna kata cinta yg sebenarnya. Memang cinta seharusnya tanpa pamrih. Nggak minta balas jasa. Namun justru cinta yg sprt itu yg jarang kita temui. Aku berpikir, alangkah bangga dan berbahagianya suatu pasangan, yg memiliki cinta tanpa pamrih itu. Alangkah beruntungnya mereka. Mereka bisa bikin iri banyak orang. Dan tentu, kita semua pasti ingin memiliki cinta tanpa pamrih itu. Tapi mungkin sulit untuk menggapainya krn dibalik cinta tanpa pamrih itu ada sejumlah sikap yg hrs dimiliki suatu pasangan sprt sikap menerima apa adanya kondisi pasangan, sikap saling menghargai dan menghormati pasangan dan makna cinta yang mereka miliki, sikap yg saling membutuhkan, suatu sikap ''saat kamu tiada di sampingku, aku merasa sepi, aku merasa sendiri dan aku merasa pincang, kamulah penyeimbangku''. Apakah aku, kamu dan kalian mampu menggapai cinta tanpa pamrih itu???? ***

Selengkapnya.....

Asap di Riau, Ke Mana Mesti Sembunyi?

Ada tiga musim yg kerap singgah di Riau, pertama musim kemarau, kedua musim banjir dan ketiga musim asap. Kali ini kondisi daerah di Riau lbh banyak terlihat kabut asap. Kemarin aku mengobati anakku yg influensanya nggak sembuh-sembuh. Dia kubawa ke dokter spesialis anak yg cukup terkenal di Pekanbaru. Apa hasilnya? Dia mengaku angkat tangan. Lho kok? Katanya kalau influensanya terkena virus msh bs dia obati dan pasti nggak bolak-balik lg. Tp ini influensanya dipastikan akibat cuaca Pekanbaru yg sarat dgn kabut asap. Solusi yg diberikannya pd kami, jk nggak mau bolak-balik lg influensanya, kami disarankan untuk mengungsi ke kota Bukittinggi, sementara waktu, menjelang kabut asap usai.




Tentunya solusi ini cukup membingungkan, mengungsi? sekeluarga? dalam waktu yg tidak bs ditentukan? Wah, wah tentunya ini terlalu sulit bg kami. Mata pencarian kami di sini, anak-anak sekolah di sini? Bagaimana bisa ini dilakukan? Pastinya kami tentu nggak bs memenuhi saran itu, dan terpaksa hrs menerima kondisi anak yg bakal rentan terkena flu, batuk dan akhirnya demam kalau badannya dah nggak sanggup lg menahan semua itu.

Asap., asap kemana lg hrs sembunyi? Knp pemerintah jg angkat tangan menangani kondisi ini? Kok nggak ada aksi besar-besaran dr masyarakat atau sekelompok masyarakat untuk mendesak pemerintah menuntaskan soal asap ini? Padahal, jujur....soal asap ini sudah lama terjadi dan terus berulang-ulang setiap tahun di Riau. Aku ingat saat KKN tahun 1997 lalu di Rokan Hilir, aku merasakan kabut asap yg cukup banyak di daerah ini. Dan sekarang sudah berlalu 12 tahun lamanya, kondisi tetap sama, walau pemerintahnya jg sudah silih berganti.

Aneh sekali di negeri ini, banyak kt temui lembaga, instansi, kelompok kepentingan, organisasi kemasyarakatan, organisasi para kaum intelektual, tapi kok nggak mau ngurus kondisi yg ada. Harusnya sprt dokter yg ngaku angkat tangan tp kok diam saja nggak ada presure pd pemerintah ttg akibat atau dampak kabut asap ini. Jg pihak sekolah yg nggak teriak keras dgn kondisi ini yg berakibat pd banyaknya siswa2 yg nggak masuh sekolah krn sakit akibat kabut asap. Jg para aktivis lingkungan hidup, kok diam saja? So, kmn lg hrs bertanya? kmn lg hrs cr solusi? hrskah, orang2 asing lg yg mesti turun tangan menangani persoalan ini? Nggak mampukah kita??????

Selengkapnya.....

Selasa, 07 April 2009

Artikel April2 09: Pemilih Cerdas=Legislatif Berkualitas

Tanggal 9 April 2009 seluruh bangsa Indonesia yang memiliki hak pilih secara bersama-sama menggunakan hak pilihnya untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Mulai dari memilih calon anggota DPRD di tingkat kota/kabupaten, tingkat provinsi hingga ke tingkat pusat (DPR-RI) dan DPD (non partai). Pemilihan dilakukan secara langsung dalam bentuk pesta demokrasi Pemilu (pemilihan umum). Semestinya pemilu yang kita jalankan ini dapat menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas sehingga lembaga tersebut juga akan menjadi berkualitas dalam menyerap aspirasi rakyat. Karena keputusan yang diambil oleh legislatif adalah bentuk perwujudan dari aspirasi masyarakat yang diwakili (konstituen) oleh para wakil rakyat yang terpilih. Dengan demikian proses demokrasi yang dihasilkan dapat membentuk sistem yang kuat untuk mensejahterakan rakyat secara keseluruhan.




Untuk dapat mewujudkan hal ini, kualitas legislatif yang diharapkan sangat ditentukan oleh para pemilih (konstituen). Mengapa demikian? Karena pada dasarnya partai politik (parpol) yang ikut dalam pemilu lebih cenderung menempatkan prioritas utama pada kader-kadernya untuk maju sebagai calon legislatif. Kemudian jika jumlah caleg kurang dari yang berdasarkan undang-undang, barulah dicari tokoh-tokoh yang cukup dikenal di luar partai lebih sering orang-orang terdekat dari kader atau caleg parpol yang bersangkutan. Tentu, bagi parpol yang sudah melakukan sistem pengkaderan tidak sulit mencari calon legislatif karena sudah termasuk dalam sistem parpol tersebut. Dalam memilih calon legislatif dari parpol inilah yang harus dicermati oleh para pemilih. Karena tidak dapat dipungkiri, budaya kekerabatan masih cukup kental mengisi kebijakan parpol dalam menentukan caleg-caleg mereka.
Tanpa melihat kualitas dan kredibilitas si caleg, banyak orang-orang yang mestinya layak dan cocok untuk dapat didukung dan diusung menjadi wakil rakyat di DPR/DPRD menjadi tersingkir.

Tentunya ini harus diwaspadai oleh para pemilih untuk benar-benar teliti dan lebih cerdas dalam memilih wakil mereka di legislatif.Untuk dapat menghasilkan legislatif yang berkualitas tentunya kita harus melihat kualitas, integritas dan kredibilitas caleg yang akan kita pilih. Karena perlu diketahui hingga saat ini saja, banyak rakyat atau konstituen yang tidak tahu apa tugas dan fungsi dari legislatif
tersebut saat bersekutu menjalankan roda pemerintahan. Karena negara Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menganut prinsip Trias POlitica, yang membagi tiga kekuasaan politik negara yaitu eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga lembaga negara ini sifatnya saling lepas (independen) namun berada dalam peringkat sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif. Sementara lembaga-lembaga pengadilan yang berwenangmenyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD/DPD) memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil rakyat yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Sementara itu lembaga legislatif sendiri memiliki tiga fungsi penting di antaranya, pertama membuat peraturan perundang-undangan di tingkat DPRD berupa Perda dan UU di tingkat DPR RI. Kedua, menyusun dan menyetujui anggaran dengan produk akhir berupa APBN/ APBD. Ketiga, mengawasi eksekutif yang berkewajiban melaksanakan amanah UU/perda dan APBN/APBD. Jika saja pemilih tahu dengan ketiga fungsi legislatif ini tentunya mereka tahu siapa caleg yang harus mereka pilih. Jangan sampai ketika duduk di DPRD, anggota DPR/DPRD/DPD yang dipilih tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Ini yang sering terjadi mengacu pada hasil pemilu sebelumnya, dimana para konstituen merasa kecewa dan anggota DPRD yang mereka pilih tidak bisa menyuarakan aspirasi mereka, bahkan UU atau peraturan yang dibuat legislatif banyak yang tidak memihak pada rakyat. Tentunya caleg yang mesti dipilih adalah yang bisa menyerap aspirasi rakyat, aktif dalam kegiatan merancang uu dan peraturan serta aktif dalam menyusun dan menyetujui anggaran yang memihak kepentingan rakyat. Yang lebih penting lagi, setelah mereka duduk di legislatif tidak lupa menyapa dan turun ke
konstituennya. Tidak hanya menjelang masa-masa pemilu saja. Pemilih pun harus jeli mengamati para caleg yang saat ini masuh duduk di legislatif, apakah saat masa reses, mereka di DPR/DPRD/DPD benar-benar melakukan reses atau turun ke konstituen mereka.

Tidak Golput
Sehubungan dengan tulisan ini, menyangkut fenomena golongan putih (golput) atau tidak
memilih ini juga harus dicermati oleh para pemilih. Setelah membaca opini AlaidinKoto di Riau Pos beberapa hari yang lalu soal Fatwa Haram Golput oleh MUI, saya sangat memahami agar memang sebaiknya pemilih tidak melakukan upaya Golput. Bagaimanapun ini akan berdampak bagi mada depan bangsa ini lima tahun ke depan. Karena anggota legislatif yang dipilih ini akan bekerja selama lima tahun ke depan. Memang mungkin ada dari caleg yang tidak pantas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, namun kita juga harus bisa menerima kenyataan bahwa tidak semua caleg seperti itu. Mungkin tidak ada yang terbaik atau sempurna, tapi setidak-tidaknya kita mengambil yang mendekati itu. Kesempurnaan yang diinginkan konstituen dari wakilnya sebenarnya bisa diciptakan oleh konstituen itu sendiri. Jika saja, dalam perjalanan karier di legislatif, anggota DPR/DPRD/DPD yang mereka pilih tidak dapat menjalankan amanah rakyat, maka pemilih bisa saja mengadukannya ke fraksi anggota DPR/DPRD, atau juga ke pimpinan partai mereka atau juga bisa ke ketua DPRD. Pemilih bisa saja meminta penggantinya atau mem
-PAW kan angggota DPRD tersebut. Karena pemilu sendiri merupakan salah satu dari proses demokrasi, yang dalam bahasa Yunani terdiri dari istilah demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan demokrasi itu sendiri sebagai perwujudan pemerintahan rakyat, yang berasal dari rakyat sendiri, dan dilakukan oleh rakyat dan hasilnya juga untuk rakyat. Untuk apa kita punya wakil, tapi wakil tersebut tidak bisa mewakili kita?

Jikalah para para pemilih memilih untuk golput, bagaimana jika memang caleg yang terpilih benar-benar tidak bisa diandalkan, tidak bisa jadi wakil rakyat atau tidak mencerminkan perwujudan rakyat? Apalagi jumlahnya hampir seluruhnya dari jumlah anggota DPR/DPRD secara keseluruhan? Bagaimana nasib bangsa ini ke depan? Apa yang bisa dihasilkan para anggota DPRD tersebut dalam membuat UU dan peraturan yang memihak pada kepentingan rakyat? Bagaimana bisa mereka mengajukan dan menyusun anggaran yang bisa memihak pada rakyat, atau bahkan justeru menyengsarakan rakyat? Bagaimana mereka bisa mengawasi pemerintah (eksekutif) dalam melaksanakan amanah UU/perda dan APBN/APBD? Ini yang harus kita waspadai agar hasil pemilu yang diperoleh benar-benar menciptakan lembaga legislatif yang berkualitas. Tentunya hasil ini ada di tangan-tangan Anda, para pemilih. Karena itu jadilah pemilih cerdas! Dengan demikian legislatif yang dihasilkan adalah legislatif yang berkualitas. Suara Anda, sangat menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.

Selengkapnya.....

Artikel April 09: Autisme Meradang

Mungkin banyak yang tak tahu atau tidak ingat, jika hari ini merupakan peringatan ''Hari Peduli Autisme Sedunia'' (HPAS). Yah, peringatan ini ditetapkan dan diperkuat dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) nomor 62/139 yang dikeluarkan pada tanggal 18 Desember 2007. Peringatan ini bukan hanya sekedar upaya memperingati tanggal yang bersejarah ini, tapi lebih dari pengungkapan rasa kekhawatiran kita akan terhadap angka peningkatan penyandang autis dari waktu ke waktu.



Mengapa perlu dikhawatirkan? Meski bukan suatu penyakit menular, namun autisme merupakan gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, dan ini dapat terlihat jelas sebelum si anak mencapai usia 3 ahun. Gangguang tersebut lebih sering disebut gangguan spektrum autistik (ASD atau Autistic Spektrum Disorder). Tentunya ini warning bagi para orang tua, agar hati-hati dengan perkembangan anak-anak mereka. Sebab, autisme sendiri disebabkan karena adanya gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak mempunyai kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Sehingga lebih sering kita melihat para penyandang autis seakan-akan mempunyai ''dunianya sendiri''.

Peningkatan dramatis jumlah penyandang autis ini lebih banyak ditemui di Amerika Serikat. Peningkatan lainnnya juga terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang. Pada tahun 2007 lalu saja tercatat 35 juta jiwa penyndang autis di negara-negara ini. Di Indonesia memang belum terdeteksi peningkatan jumlah tersebut karena saat ini pun belum memiliki data statistik bagi jumlah para penyandang autis ini. Meskipun demikian tak dapat dipungkiri dari tahun ke tahun semakin banyak berdiri pusat terapi dan sekolah khusus bagi penyandang autis. Di pusat-pusat terapi dan sekolah khusus tersebut juga bisa disimak peningkatan jumlah anak penyandang autis. Dari fenomena ini saja dapat kita ketahui bahwa peningkatan jumlah penyandang autis di Indonesia kian bertambah. Sementara anak-anak yang lulus atau lepas dari autis jarang pernah kita jumpai. Bahkan banyak para orang tua di pusat terapi autis mengeluh,''Disini (pusat terapi autis, red) kok jumlah anak yang ikut terapi terus saja bertambah yah, sementara yang lulus terapi nggak ada. Kalaupun ada paling hanya bisa dihitung dengan jari saja, itupun belum dijamin 100 persen bisa benar-benar seperti anak normal.'' Demikian kecemasan dan kegalauan yang sering dikeluh-kesahkan oleh para orang tua dari anak penyandang autis.

Terutapa di Indonesia dan di daerah pada khususnya. Penanganan autis belumlah dilakukan secara maksimal. Tidak seperti di negara-negara maju tersebut. Karena harus diketahui penanganan autisme memerlukan usaha yang sangat serius, dengan penanganan secara global, lintas sektoral dan lintas negara. Di sini peran media dan industri komunikasi sangat berperan penting dalam melakukan upaya sosialisasi. Tidak hanya itu pemerintah setempat memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan dan sumber daya yang diperlukan. Begitupun dengan kalangan akademik sangat diperlukan untuk menemukan sebab dan mencari penanganan yang lebih baik terhadap penyandang autis.

Di negara kita, Indonesia penanganan autis saat ini masih sebatas pada sosialisasi informasi yang benar tentang autis saja. Sehingga sering kali para orang tua merasa putus asa karena tidak menjumpai penanganan autis yang lebih tepat. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan masa depan penyandang autis itu sendiri. Karena harapan pertama yang ingin dicapai oleh para orang tua dari penyandang autis adalah bagaimana anak mereka bisa mandiri, bisa hidup sendiri terutama untuk keperluan dirinya sendiri. Dengan kemandirian tersebut, si anak juga bisa mendapatkan pendidikan yang cocok dan layak untuk mereka. Para pendidik juga harus memikirkan hal ini karena pendidikan bukan hanya milik anak-anak normal saja tapi juga para penyandang cacat dan penyandang autis serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Dengan demikian stigma negatif tentang anak autis bisa dapat dihilangkan. Anak autis tidak lagi menjadi beban, anak autis tidak lagi membuat malu orang tua ataupun keluarga dan anak autis juga bisa memperlihatkan potensi dan bakat yang ada pada diri mereka. Dalam hal ini tentunya diharapkan partisipasi dari pisak swasta dan pemerintah untuk membantu penanganan anak-anak autis agar lebih baik.

Dan yang penting lagi, penanganan dilakukan secara merata hingga ke daerah-daerah. Karena penyandang autis terlahir tidak melihat siapa orang tua mereka dan dimana mereka tinggal, juga tidak melihat tingkat perekonomian keluarga mereka. Penyandang autis bisa terlahir dari keluarga kaya, juga bisa terlahir dari keluarga miskin. Mereka juga tidak melihat suku, agama dan ras. Karena harus diakui untuk melakukan penanganan secara maksimal bagi penanganan autis ini diperlukan biaya yang cukup besar. Untuk terapi saja, para orang tua bisa merogehkan kocek minimal Rp1 juta/anak autis, itupun hanya sekitar 1 jam saja terapinya. Bahkan ada orang tua yang mengeluarkan biaya Rp5-10 juta/anak autis untuk terapi dan sekolah mereka. Tak terbayangkan jika banyak anak autis yang telahir dari keluarga tak mampu, dikemanakan mereka, diapakan mereka ini? Tak bergunakah mereka? Jangan pernah mempunyai pikiran begitu karena pada dasarnya setiap makluk diciptakan Allah SWT memiliki kegunaan dan manfaat tersendiri. Setiap kita pasti punya sisi istimewa sendiri. Begitupun dengan penyandang autis. Bahkan di Amerika Serikat, seperti yang pernah dituturkan salah seorang ibu dari penyandang autis, pemerintah setempat sangat serius memperhatikan mereka. Hal ini tampak dari disediakannya suatu tempat khusus untuk sejumlah kreatifitas para penyandang autis. Hasilnya....??? Wow, sangat mengagumkan. Banyak karya-karya dan keratifitas yang tidak bisa diciptakan anak-anak normal, tapi bisa diciptakan para penyandang autis. Kita ingin langkah ini juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dan pemerintah daerah pada khususnya. Sehingga autis tidak lagi meradang. Autis bisa merasa nyaman dan hidup normal sebagaimana manusia normal lainnya.

Selengkapnya.....

Artikel november: Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan

Hari ini tanggal 25 November merupakan hari dimulainya kegiatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kegiatan ini berlangsung hingga tanggal 10 Desember mendatang. Mengapa harus enam belas hari?



Sebenarnya Komnas Perempuan sejak 2001 lalu sudah memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan kampanye ini. Lima tahun pertama kampanye difokuskan pada penggalangan keberpihakan pada korban, pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan pemberian pelayanan terpadu sebagai wujud tanggungjawab negara. Selanjutnya Komnas Perempuan mengangkat tema perempuan pembela HAM. Perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunitas pembela HAM dalam menghadapi berbagai kerentanan dan risiko perjuangannya. Karena kelaminnya, perempuan pembela HAM harus mendapat pengakuan, penanganan dan pencegahan terhadap risiko dan kerentanan tersebut. Pada tahun ini, untuk ke-8 kalinya dalam siaran pers di situsnya, Komnas Perempuan mendorong dan mendukung gerakan perempuan Indonesia melaksanakan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Adapun tema Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun ini adalah. ‘’Mendesak komitmen politik kandidat Pemilu 2009 untuk pemenuhan HAM Perempuan’’ Tema ini dirumuskan Komnas Perempuan bersama dengan 24 mitra, yang terdiri dari wakil LSM perempuan, kelompok industri kreatif, komunitas agama dan lembaga pemerintahan daerah serta nasional, dalam sebuah workshop perumusan tema pada bulan Agustus 2008. Mulai hari ini Komnas Perempuan bersama 37 mitra akan melakukan Kampanye 16 hari Anti kekerasan Terhadap Perempuan. Mereka tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dari Sumatera hingga Papua. Komnas Perempuan mendukung agenda kampanye ke-37 mitra tersebut dengan cara memfasilitasi perumusan tema bersama serta mendistribusikan alat-alat kampanye yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan kampanye mereka. Tema ini dipilih berdasarkan hal-hal sebagai berikut pertama,masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, kedua kebijakan yang diskriminatif dan tidak berpihak pada perempuan korban tindak kekerasan dan ketiga karena hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan jaminan konstitusional atas hak-hak perempuan sebagaimana tertera dalam UUD 45 amandemen IV belum sepenuhnya terimplementasi secara efektif.

Kampanye 16 Hari Anti kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) ini merupakan kampanye internasional untuk menorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kegiatan ini dicetuskan pada Women’s Global Leadership Institute pertama tahun 1991 yang disponsori oleh center for Women’s Global Leadership. Setiap tahun, kegiatan ini dimulai pada tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan hari HAM Internasional. Dengan rentang waktu 16 hari ini para aktivis HAM perempuan mempunyai waktu yang cukup guna membangun strategi pengorganisasian agenda bersama untuk menggalan solidaritas, mengajak dan mendorong kegiatan bersama guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam rentang waktu ini juga terdapat momen-momen penting yang terjadi di belahan dunia yaitu 25 November: Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tanggal ini menjadi tanggal penghormatan tas meninggalnya Mirabal bersaudara (patria, Minerva dan Maria Teresa) di tahun 1960 akibat pembunuhan keji kaki tangan penguasa diktaktor Republik Dominika, Rafael Trujillo. Mereka merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi symbol perlawanan terhadap kediktaoran penguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kalimereka mendapatkan tekanan dan penganiayaan dan berakhir pada pembunuhan keji. Tanggal ini sekaligus menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis gender.

Selanjutnya 1 Desember; Hari AIDS Sedunia. Dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri sedunia tahun 1988 yang dimulai dengan kampanye tahunan dalam menggalang dukungan public serta mengembangkan program pencegahan HIV/AIDS dan juga pendidikan dan penyadaran akan isu-isu seputar AIDS. Tanggal 2 Desember: Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan. Hari ini diadopsi dari Konvensi PBB mengenai Penindasan terhadap Orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain (UN Convention for the Suppression of the trffic in persons and the Exploitation of other). Konvnesi ini memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentas seperti perempuan dan anak-anak atas kejahatan perdagangan dunia. Tanggal 3 Desember: Hari Internasional bagi Penyandang Cacat. Peringatan lahirnya program Aksi Sedunia bagi Penyandang Cacat (the World Programme of Action concerning Disable Persons), diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1982 untuk meningkatkan pemahaman public akan isu mengenai penyandang cacat dan juga membangkitkan kesadaran akan manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalams egala aspek kehidupan masyarakat. Tanggal 5 Desember: Hari Internasional bagi Sukarelawan. Ditetapkan oleh PBB 1985. Pada hari ini PBB mengajak organisasi-organisasi dan Negara-negara dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud rasa terima kasih dan penghargaan pada orang-orang yang telah memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dengan mengabdikan dirinya sebagai sukarelawan. Tanggal 6 Desember: Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekekrasan terhadap Perempuan. Pada tanggal ini di tahun 1989, terjadi pembunuhan missal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (perempuan) dengan menggunakan senapan otomatis caliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan surat berisikan kemarahan yang teramat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya. Tanggal 10 Desember: Hari HAM Internasional. Perayaan ini ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB tahun 1948 dan sekaligus momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detail terkandung di dalam deklarasi tersebut.

Bertepatan dengan peringatan kampanye ini, dua hari yang lalu, kebetulan saya menjadi tempat curahan hati seorang teman lama yang juga seorang perempuan yang telah mempunyai suami dan satu orang anak laki-laki. Dalam curahan hatinya, dengan menangis dan raut wajah yang pilu dia menceritakan bahwa hasil ronsen yang diperolehnya dokter memperlihatkan dadanya yang mamar dan hingga sekarang dia sulit untuk batuk, bersin dan tertawa keras karena akan merasa sakit dan sesak di dadanya. Yah, itu akibat pukulan siku tangan dari sang suami yang belum lama ini dilakukan terhadap dirinya. Dia juga bercerita bentuk kekerasan lainya juga sering dialaminya dalam menjalani kehidupan selama tujuh tahun berumahtangga, bahkan sudah dimulai sejak tahun pertama.
Dua tahun lalu bertepatan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember 2006, teman lama saya yang juga seorang perempuan juga mengalami nasib yang sama. Mukanya lebam, mulutnya dijahit akibat dipukul dan dihajar sang suami. Tapi, sang suami akhirnya mendapat ganjaran dipenjara selama enam bulan penjara, meski tak memuaskan, hukuman itu setidak-tidaknya bisa menimbulkan efek jera terhadap suami ataupun pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga lainnya.

Dalam salah satu kasus yang kami tangani setahun ini di Women Crisis Centre (WCC) Provinsi Riau, ada bentuk tindak kekerasan lainnya berupa pengancaman yang dilakukan ayah terhadap anak perempuan tirinya. Pengancaman untuk melanjutkan rencana pemerkosaan yang berakibat pada traumatik yang saat ini menimpa si anak karena dengan tindakan ayah tirinya itu, si anak hamil dan malu dengan keluarga dan tetangganya. Padahal sebagai seorang ayah harusnya memberikan perlindungan kepada anaknya, bukan malah menyakiti. Demikian juga dengan kasus-kasus tindak kekarasan lainnya baik yang kekerasan pisik maupun kekerasan psikis terhadap perempuan yang seolah-olah memperlihatkan perempuan merupakan makluk Tuhan yang tak berdaya.

Sebenarnya ada banyak cerita soal tindak kekerasan terhadap perempuan lainnya yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang terjadi pada siapa saja dengan latar belakang apa saja, tanpa pandang status, tanpa pandang suku dan tanpa pandang pendidikan seseorang. Baik itu terjadi di dalam rumah tangga ataupun di luar rumah tangga. Di sejumlah catatan di kepolisian pun juga memberikan dampak keprihatinan bagi kita atas semakin maraknya kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bisa mewujud dalam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, eksploitasi pekerja migran dan perdagangan perempuan hingga kekerasan seksual dalam konteks konflik sumber daya alam dan konflik politik (konflik bersenjata).

Ada pemikiran yang mengatakan tindak kekerasan terhadap perempuan disebabkan karena kondisi lahiriah perempuan yang memang terlahir lebih lemah dibandingkan dengan fisik laki-laki, sehingga sering dimanfaatkan laki-laki untuk menjatuhkan mental kaum perempuan itu sendiri. Tapi jikapun demikian, menurut saya perempuan kan tidak dilahirkan atau dinikahkan untuk dipukul, ditampar dan disakiti. Justeru dengan kelemahannya itu sang lelaki yang memang ditakdirkan memiliki fisik yang kuat harusnya bertindak untuk melindungi dan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi kaum perempuan? Kalaulah argumen ini menjadi alasan bagi kaum laki-laki untuk semena-mena melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan tentu ini tidaklah adil dan ini bukanlah tujuan dari Sang Pencipta untuk menganjurkan hamba-hambanya menikah dan hidup berpasang-pasangan di dunia. Dari ‘’kallam’’nya Allah justeru memberikan lebih tempat terbaik bagi kaum perempuan dan suatu hadits juga menerangkan bahwa syurga berada di bawah telapak kaki ibu. Seorang isteri juga menjadi ibu bagi anak-anaknya, bukan?.

Di sisi lain, ada juga pemikiran yang mengatakan tindakan semena-semena laki-laki yang melakukan kekerasan di rumah tangga terhadap perempuan juga dipicu atas perasaan perempuan yang lebih mudah memaafkan dengan harapan ada perubahan yang lebih baik yang dilakukan sang suami untuk sadar akan perbuatannya dan tidak akan mengulanginya kembali Juga sikap malu pada orang lain akan tercium aib rumah tangganya. Padahal sikap itu sering dimanfaatkan laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan lagi selanjutnya. Ini yang harus diwaspadai oleh perempuan. Dengan artian perempuan harus memiliki sikap yang tegas terhadap suami ataupun peaku tindak kekerasan. Jika perlu buat buat komitmen bersama untuk tidak melanggarnya. Sebab, tindak kekerasan itu memiliki dampak yang cukup besar dalam kehidupan berumah tangga. Efek ini bisa diturunkan kepada anak yang akan meniru sikap bapaknya ketika dia besar nanti dan tentunya ini juga berpengaruh terhadap masa depan bangsa yang penuh dengan generasi-generasi muda yang kasar.

Selain itu perempuan juga sering merasa malas berurusan dan terbeban jika harus memberikan laporan di kepolisan atas perbuatan perilaku kekerasan yang dialaminya. Yang lebih banyak mendominasi adalah masalah biaya, yang tentu sangat dibutuhkan untuk menjadikan hal itu sebagai suatu kasus. Mungkin inilah tantangan bagi organisasi-organisasi, pemerintah atau perempuan dan laki-laki pembela hak kaum perempuan untuk dapat membantu dan mendorong perempuan lainnya untuk tidak bersikap tak berdaya itu. Tentunya perempuan juga harus proaktif mencari tahu tempat atau wadah yang bisa membantu mereka guna memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Namun hal yang paling tepat dilakukan adalah dimulai dari bagaimana kaum perempuan memiliki pemikiran yang sama membangun upaya untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan, agar perempuan-perempuan merasa berdaya untuk mencegah diri dari penindasan terhadap hak-hak perempuan itu sendiri. Ini bukan tugas siapa atau tanggungjawab siapa karena ini merupakan tugas dan tanggungjawab kita seluruh elemen masyarakat secara bersama-sama. Tentunya dengan membuat program-program dan kegiatan yang langsung menyentuh peningkatan pemberdayaan perempuan dan tepat sasaran termasuk sosialisasi gencar UU atau peraturan yang memberikan perlindungan bagi kaum perempuan.

Selengkapnya.....

Selasa, 25 November 2008

Mencari Pemimpin yang Bijaksana

Bergantinya kepemimpinan Riau dari Wan Abu Bakar kembali ke Rusli Zainal ternyata belum begitu memberikan angin segar kepada rakyat Riau. Hingga saat ini masih tampak keduanya masih berseteru.




Betapa tidak, dulu saat Rusli Zainal masih menjabat sebagai Gubernur Riau dan Wan Abu Bakar sebagai Wakil Gubernur Riau, perseteruan itu muncul terutama saat keduanya menghadiri suatu acara. Mereka tidak terlihat akrab bahkan malah ingin berjauhan satu dengan lainnya. Wan merasa disepelekan dan tidak digubris lagi oleh Rusli, sehingga Wan melontarkan pandangan yang negatif kepada Rusli yang tidak dapat bertindak sebagai mitra yang baik karena mereka merupakan satu paket kepemimpinan ketika itu. Wan juga mengkritisi segala kebijakan Rusli. Padahal tidak seharusnya begitu karena Wan merupakan bagian dari pemerintahan Rusli Zainal juga karena mereka dipilih oleh DPRD dengan satu paket yang erat.

Giliran Wan menjabat sebagai Gubernur Riau karena Rusli Zainal mengundurkan diri karena memang aturannya begitu, Wan merasa tidak dapat berbuat apa-apa atau tidak bisa berbuat efektif memajukan Riau dengan alasan singkatnya kepemimpinan Wan dan dia juga tetap mengkritisi pemerintahan Rusli Zainal dahulu dengan menghubungkan segala bentuk pembangunan yang telah dilakukan selama Rusli Zainal menjabat sebagai gubernur.

Sekarang ketika sudah dilantik oleh Mendagri 21 November lalu, Rusli yang merupakan gubernur terpilih pada Pilkada langsung Riau yang pertama kali digelar, malah berbalik mengkritisi pemerintahan Wan yang banyak ditemukan proyek-proyek pembangunan yang memiliki progres kerja yang rendah.

Sebagai seorang pemimpin seharusnya dua orang pemimpin ini tidaklah perlu untuk saling mengkritisi hal-hal yang tidak bagus yang mereka lakukan selama kepemerintahannya. Justeru kritik yang perlu diungkapkan adalah kritik yang membangun. Keduanya bisa saja mengatakan, baik tidaknya pemerintahan itu tergantung dari penilaian masyarakat, tidak perlu saling sindir atau saling menjatuhkan. Dan alangkah baiknya, mereka berkata kepada rakyat ataupun media massa, bahwa pada dasarnya pembangunan yang telah dilakukan oleh pemimpin sebelumnya sudah baik, tapi mungkin ada hal-hal lain yang memerlukan perbaikan atau peningkatan.

Memang, agak sulit rasanya mencari seorang pemimpin yang bijaksana di negeri kita ini. Padahal negeri ini merupakan negeri Melayu yang sangat identik dengan adat istiadat yang sopan dan tata krama yang baik. Tutur kata Melayu sangat begitu indahnya didengar, begitupun adat dan budayanya juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban masyarakat. Tapi kenapa budaya tersebut tidak atau sangat jarang dijalankan dalam setiap kehidupan kita di Riau ini? Mungkin kita harus lebih mendalam mengkaji budaya Melayu dan juga sangat mendalam belajar menjadi pemimpin yang bijaksana, yang dapat menjadi contoh tauladan bagi masyarakat kita. Kita juga sama-sama berharap suatu saat nanti, Riau akan memiliki pemimpin yang bijaksana dan bisa mensejahterakan masyarakat Riau dan menjadikan Riau negeri dan masyarakat yang bermartabat. Insyallah....!!!

Selengkapnya.....